Rabu, 18 November 2009

SYNDROM BUTA WARNA



Suatu hari selepas pulang dari bekerja, ketika berhenti dipertigaan lampu merah, saya mengambil tempat didepan sebuah mobil yang juga berheti dilampu merah tersebut. Tidak berapa lama kemudian ada sebuah motor yang menyalip saya dari kiri, dan berhenti tepat didepan motor saya agak kesebelah kiri. Bapak yang memakai peci haji ini dengan enaknya berhenti digaris “zebra cross”, dan melewati garis batas pembagi kiri-kanan jalan, yang ditandai dengan garis putih. Pikir saya bapak ini sudah merampas hak orang lain, untuk pengendara lain yang ingin mengambil jalur lurus dan para pejalan kaki yang ingi menyeberang. “Akh..sudahlah pikir saya”, yang penting saya sudah berada dijalur yang semestinya. Lewat beberapa hitungan detik, adalagi anak muda yang berhenti tepat disamping kiri bapak tadi, “saya pikir tambah tertutup ini jalan”. Waktu itu lalulintas dijalan memang agak sepi, melihat ada kesempatan untuk membelok, anak muda ini tancap gas belok kanan, meskipun lampu masih menyala merah. Sayangnya, melihat anak muda ini membelok, bapak yang pakai peci tadi lagi-lagi dengan santainya ikut-ikutan belok kanan.
Kejadian seperti ini menjadi pemandangan saya setiap hari dikota Banjarmasin, baik itu mau berangkat maupun pulang kerja, karena dipertigaan dan perempatan lampu merah yang setiap hari saya lewati, memang tidak ada polisi lalulintasnya. Entah kenapa para pengendara lebih takut membuat pelanggaran di lampu merah yang ada pos polisinya saja. Mereka lebih takut kepada polisi dari pada peraturan dengan tidak mempertimbangkan keselamatan nyawa mereka sendiri. Atau boleh jadi masyarakat kota ini sudah terjangkit syndrome buta warna.
Lampu lalulintas muncul pertama kali di Westminster Inggris pada tahun 1868 dengan menggunakan gas. Kemudian pada tahun 1918 di New York, dengan formasi merah-kuning-hijau yang dioperasikan secara manual. Pada 1926 telah dilakukan pengoperasian lampu secara semi otomatis di Wolverhampton Inggris. Secara teknis, pengaturan lampu memang berkembang pesat dari pengoperasian secara manual oleh manusia, semi-otomatis, otomatis, hingga sistem kamera dan ATCS (Automatic Traffic Control System). Lampu isyarat lalulintas ini merupakan standar internasional, seperti juga rambu lalulintas yang ada di tepi jalan. Merah, kuning dan hijau adalah warna yang sudah paten di negeri manapun, meskipun dalam pengaturannya terdapat beberapa perbedaan
Di Indonesia, pengaturan lampu lalulintas ini tertuang dan dilindungi oleh Undang-Undang Lalulintas dan Angkutan Jalan Nomor 14 Tahun 1992, seperti pada Pasal 8, Pasal 23, serta Pasal 61. Umumnya pengaturan pergantian nyala hijau pada suatu lengan dalam suatu simpang (atau urutan arus lalulintas yang mendapat nyala hijau, biasanya disebut fase) biasanya searah jarum jam. Namun aturan ini sangat tidak baku, tergantung dari hasil analisis ahli lalulintas berdasarkan volume dan komposisi lalulintas serta geometri simpang. Secara garis besar, lampu lalulintas dipergunakan untuk mengatur arus lalulintas, guna mencegah kemacetan.
Kita sadari pelanggaran rambu-rambu lalulintas, khususnya lampu lalulintas, disebabkan oleh banyak faktor. Namun, kesadaran untuk tertib berlalulintas merupakan faktor yang paling utama yang harus ditanamkan kepada para pengendara, agar tercipta kenyamanan berkendara. Nah itu yang sulit, karena pelanggaran lalulintas, khususnya lampu lalulintas, bukan hanya membahayakan sipengendara itu sendiri, tetapi juga orang lain sebagai pengguna jalan.
Kita ketahui bersama dengan keterbatasan personil aparat penegak hukum, polisi lalulintas seharusnya lebih berperan aktif mensosialisasikan tertib berlalulintas, dan sanksinya harus lebih tegas kepada pelanggarnya. Karena, seperti pepatah “lebih baik mencegah, daripada mengobati”. Mungkin hal ini bisa dioptimalkan pada saat pembuatan SIM (Surat Izin Mengemudi).
Pernah ketika membuat SIM dulu, saya sampai 2 kali mengikuti tes tertulis, tapi tidak pernah lulus. Padahal menurut saya soal yang diujikan tidak begitu sulit, kalo dibanding dengan soal Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri, karena waktu itu saya baru saja lulus UMPTN diBanjarmasin. Saya kira tidak pernah ada keterbukaan mengenai penilaian dan batasan kelulusan tes tertulis pembuatan SIM, di kota manapun di negeri ini, sehingga kita hanya bisa menerima, tanpa bisa protes, pokoknya tidak lulus. Yang lebih parah lagi, ada oknum polisi waktu itu yang menawarkan pada saya untuk jalan pintas atau lebih dikenal dengan (menembak), jadi kita tidak perlu repot bolak-balik kekantor polisi untuk ikut tes, tinggal bayar lebih, langsung foto, jadi deh. Tapi saya pikir-pikir lagi, selain uangnya untuk keperluan lain, juga saya memang ingin mengetahui langsung bagaimana cara pembuatan SIM itu, akhirnya saya batal bikin SIM, biarlah lain kali saja. Kejadian ini membuat saya berpikir, bagaimana mungkin orang mengerti tentang rambu-rambu lalulintas, kalo bikin SIM-nya aja menembak, alias tanpa tes tertulis. Memang mereka juga nggak mau repot bolak-balik hanya untuk tes tertulis yang hanya sekedar formalitas belaka. Jadi siapa yang mesti disalahkan?!?
Kembali pada permasalahan diatas, kalo boleh saya mengusulkan, bagaimana kalo proses pembuatan SIM (Surat Izin Mengemudi) disertakan tes “ishihara” atau tes buta warna, karena syndrom buta warna ini sudah melanda hampir sebagian besar pengendara motor di kota Banjarmasin, mereka tidak bisa lagi membedakan mana warna lampu lalulintas yang merah, kuning, ataupun hijau.
Sekarang saya sudah punya anak yang masih kecil, kebutuhan sarana transfortasi memang tidak saya pungkiri. Tapi yang jelas, bila saatnya saya harus membiarkan anak saya naik motor sendiri, pasti sebelumnya akan saya jelaskan fungsi dan manfaat rambu-rambu lalulintas, agar dia mengerti pentingnya menaati peraturan lalulintas. Saatnya kembali kepada diri kita masing-masing, untuk lebih introspeksi diri dalam berkendara, atau meneruskan tradisi yang jelek dengan melanggar rambu-rambu lalulintas, khususnya lampu lalulintas. Apalagi Undang-undang Lalu lintas yang baru akan segera diberlakukan dengan aturan dan sanksi yang jauh lebih berat.
Untuk petugas lalulintas, alangkah bijaksananya bila pak polisi menjadi aparat yang santun dalam menjelaskan aturan berlalulintas, karena sejauh ini polisi hanya dianggap sebagai sosok penegak hukum yang ditakuti, bukan sebagai pengayom masyarakat dengan pembinaan dan pembelajaran tertib berlalulintas. Hal ini karena banyaknya masyarakat yang tidak mengerti benar manfaat dan fungsi lampu lalulintas, karena bikin SIM-nya tadi dengan jalan pintas, dan masih banyak juga masyarakat yang buta warna.